Rabu, 11 Desember 2013

Juara II LCPN Tingkat Mahasiswa/Umum

Refdinal Muzan
Mengenal puisi sejak bangku SMA dengan mengikuti beberapa mengkikuti Lomba baca puisi tingkat pelajar dan umum se sumatera Barat. Hobinya itu masih berlanjut sampai saat ini dan ada  beberapa penghargaan serta gelar juara yang sempat diraih. Lahir di Padang dan mengingat hari kelahirannya setiap 15 Mai.Dengan adanya dunia cyberg membuat semangat menulisnya semakin menyata. Terbukti dengan telah terbitnya beberapa Antologi Puisi seperti, Traktat Cinta Dan dosa dalam Dendam (Pena Ananda, 2011), Deru Awang-Awang (Wahana jaya Abadi, 2012), Talenta Para Pengukir Tinta Emas (Penerbit Awang-Awang, 2012), Antologi Carta Farfalla (Tuas Media,2012), Déjà vu Rindu (Leutika Prio, 2012) dan Antologi Puisi Tembang Cinta Kamboja (Sembilan Mutiara Publishing.2012) dan sejak bergabung dalam grup FORUM AKTIF MENULIS, sempat mendapat fasilitas untuk menerbitkan kumpulan puisi tunggal perdananya MOZAIK MATAHARI ( Penerbit FAM Publishing, 2012) Dalam beberapa ajang lomba yang diikuti juga pernah meraih beberapa penghargaan seperti Juara 3 Puisi Award writing Revolutiaon oleh Grup Kampung Writing Revolution - Rumah Puisi, dan Juara 1 Lomba cipta Puisi dalam rangka Milad Sekjen Forum Aishiteru Menulis, 2012, Juara 1 Lomba Cipta puisi TK Nasional 2012 oleh Forum Aishiteru Menulis, Juara 1 Lomba Cipta Puisi perjalanan oleh mytravelwriter.com, Gol A Gong, juara 1 Lomba Cipta puisi Déjà vu Rindu, dan juara satu antologi puisi Long Distance Relationship .


Puing

Tentang sebuah sisa perang
masihkah kau ingat gemeretak tanah dan pasir beterbangan
dan darah yang menganak sungai
mengalir di poranda mukim bocah-bocah berlarian
dalam ayunan bayi yang tak henti melafazkan zikir

Sembilu sepi bumi inipun tak kan mati
ia bergerak menjadikan tabir dan hijab yang kau telan
Doa-doa sebatang kaktus tua di tengah gurun
selembar zaitun mengaroma di jasad syuhada
dalam kepungan tembok yang kau pagar
curahan itu seperti hidangan dari telaga kautsar
dan cahaya yang berlarian di atas bukit sinai

Masihkah kau ingat sepasukan jubah putih
menunggang pekat malam di atas ribuan bintang
kilauan pedang di tangan seperti zulfikar
yang terbangun dari tidur panjang


Ya, Bila teryakin ini berpemilik
tak kan kau mampu menebas tunas yang tumbuh
sebab semakin mengakar di jantung tanah
menebar mengait kaki kau berdiri
tenggelam bersama kesombongan
hening diatas ribuan puing
gema azan itu kembali bergeming

(2 Desember 2012)


Alicia

Kutemui kau di pelayaran gelombang yang mendampar
Keterasingan,berpenghuni di tapak kecilmu yang menggapai
Kau menawarkan selugu raut dalam diam
kau mengulurkan sepolos rangkul dalam debar

Alicia,hijau semak belukar hamparan hari yang terisi
berlarian tanpa sepatu dan seragam
mengapit reranting kayu bakar tanpa buku dan tas
yang kau kenal
Kau mengetuk derik reot pintu pagar
Tak ada dentang bel sekolah disini kau mengejar

Keseharianmu adalah angin yang kau tebar di langit lusuh
mengeja dan menuliskan dunia di selembar pulau yang terpencil
rumput dan bunga-bunga liar sepanjang sungai
kelinci putih dan suara merpati setia memanggil
hingga haripun terselesaikan di bale bambu rebahkan mimpi

Alicia,waktupun kembali memanggilku pulang
akan kubawa sebingkai pesan
bila dunia luar juga harapan
yang kau idam.

(24 Maret 2012)


Merindu Maghrib


Sebuah sisa senja kudapati, warna jingga itu kembali menjadi bias walau selalu ada yang akan tenggelam
tertimbunan di seribu warna datang dan pergi
Dan kelam kembali melipat jalan-jalan yang dulu kau tempuh
Mungkin semua telah menggapai sebuah garis
atau kita terbelit menjadi benang-benang kusut di penghujung
habis

Lalu, senja itu kembali menggema
seperti sekawanan burung yang terbang kembali pulang
Aku masih melihat ungu di rangkaian langit semakin lusuh
Ujung-ujung daun yang masih tersangkut di sisa cahaya
mengetuk pintu dari sebuah panggilan nan melambai
Di sini ada relung kembali hinggap di satu masa

Dalam derik pintu terkunci rapat, temaram lampu minyak
di dinding tabir
Tak ada kemayaan riang di sepetak layar kaca
Akupun bersandar di bahu yang renta
selepas magrib kalam-kalam sucipun menembus relung sukma

Dalam belai suara jangrik dan serangga, kitapun mengeja kata demi kata
Hingga malam terlarut di pangkuan damai bunda

Adakah maghrib itu kembali datang
Bila satu persatu kembali hilang
tergantikan sesak semu yang meruang

(10 Oktober 2012)


Titian Kabut

Lesap sejurus deru angin yang membelah
akhirnya kitapun saling menjamu kata pisah
di segerbang pintu yang membeku
di selambai tangan dan pesan yang kau titipkan
di liang nganga tak bersuara

"Aku Pergi" bersama harapan dan doa sepertimu, Ibu.
Bila kelak lelaki adalah sendiri , aku akan menaburkan serentang kembang di setiap langakah yang kujejal, disetiap helai nafas yang kusengal
Agar aroma rindu akan selalu menggamitkanku untuk pulang
seperti tumpuan benang layang-layang di langit bentang

Percakapan demi percakapan melintas untuk sebuah singgah yang kupetik
Selalu saja kulihat orang menilai untuk sebuah menang dan kalah terkandas dan terlepas, serta tertikam dan berdarah
bahkan buku-bukupun seperti telah mengukir untuk sebuah nisan

Inilah jalan, bila tuju adalah satu yang terpendam
di antara persimpangan dan rambu yang terpancang
di tengahan perguliran musim senantiasa menghias
bila pasi langit terselimut kabut pekat tak membias

Selangkah hari, minggu, bulan dan tahun adalah seucap tinggal dan menua kungkungan rindu semakin menebal namun melengkapi kisah harus tertambal
Tangga demi tangga seperti hitungan pada naik dan turun
seperti seabadi patri  .Tinggal lagi tabah menjalani

(11April 2013)


Sajak Hari Ibu


Ibu, untaian kata dan doa telah penuhi penjuru
bumi dan langit
sesaat sejuk angin membalut terik dari
mentari yang semakin tua
Tapi tidak untuk sebuah lupa akan kasihmu

Di hari ini , sedikit terlambat aku terjaga
betapa hangat dekapan cinta
hingga aku terlelap menyadari akan arti Hari ini bagimu

Yakin, tak hanya kini segala tumpahan sayang
mencurah dari hati
Sejak mula aku ada ,
sejak hadirku kaupun tiada henti dampingi
meyakini hari-hari
menambalkan rapuh dengan cabikan perca yang tersayat
menghapuskan airmata dari derasnya gemuruh
yang masih kau simpan di langit hati
menghiasi senyum di depan pintu , kala pandanganku
menoleh duka yang kau sembunyi
Semua terwarnai dalam sayang yang kau baluri

Dan lalu Ibu,
tak kan pernah ada kata cukup menghitung semua itu
Kaulah sinar yang nenerangi langkah dalam huyung dan mendung terkadang datang mengurung
Kaulah sesejuk telaga yang kutemui dikehenigan rimba kala nanar dan kerontang menyesatkan arah
kaulah hujan yang kudapatkan di pinggir desa ketika syahdu meresap dalam heningnya senja
kaulah teratai kedamaian semadi ketika liarnya jiwa
redup dan tenang dalam dekapan
kasih sayangmu
Terimakasih, Ibu.

(22 des 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar