Selasa, 05 November 2013

Puisi-Puisi Oriangga Santriago Masdaloka

Oriangga Santriago Masdaloka adalah nama lengkap yang diberikan oleh ayah khusus untuk anak lelakinya yang kini tumbuh ,, dan itu adalah aku… Aku lahir pada tanggal 29, bulan Desember, tahun 1993, tepatnya aku lahir di kota kecil nan santri, yakni Kota Pasuruan.

Sebutan kota santri bagi kota Pasuruan, sama sekali tak bisa menjamin 100% penghuninya benar-benar muslim sejati. Masih banyak manusia bejat berkeliaran,, ya itulah manusia.. Hanya kata ‘MAKLUM’ yang bisa mengendalikan hal tersebut. Namun untung saja aku dilahirkan di lingkungan sehat, meski terkadang mata ini selalu menyaksikan dunia hitam yang teramat suram. Itu semua karena aku telah mengenal seni sejak usia dini. Seni yang aku kenal pertama kali adalah musik dan sejenisnya, lalu semakin tinggi nada yang aku kenal, hingga aku kenal dengan seni lukis, dan pada akhirnya berpuncak pada satu nada tinggi yang dinamakan sastra bahasa, salah satunya adalah PUISI. Puisi yang membuatku hidup, dan puisi yang mengajariku arti hidup, bahwa ‘HIDUP BISA MEMBUAT MANUSIA TUMBANG, NAMUN MANUSIA MASIH DAPAT MEMILIH UNTUK BANGKIT ATAU TIDAK SAMA SEKALI.’
Alamat e-mail: lyrocool@yahoo.com ; Nomor handphone: 085646663840

ANOMALI

Saat kamera pada wajahku merekam panorama seni dalam berbagai kelompok habitat manusia.
Otak kananpun ikut berpartisipasi juga.
Menyumbang beberapa imajinasi tak biasa.
Membuatku menjadi sosok anomali yang berbeda.
Layaknya rumus logika yang disatukan dengan rumus alam.
Hingga keduanya membentuk citra visual dalam gelap malam.
Segelas susu kental gurih.
Membuat lidahku bergoyang lirih.
Membuat jiwaku tenang bersantai.
Ditemani angin yang bernafas di sekitar dahi.
Namun pada akhirnya semua kembali, menuju pada satu titik cahaya pagi.
Menuju pada satu pertanyaan lagi, Bagaimana nasib dunia pendidikan kini?
Hanya satu pertanyaan gampang, tapi amat banyak jawaban menyimpang.
Mulut yang mengoceh di berbagai kandang, tak pernah sama dengan realita di tanah lapang. Semua jenis suara terdengar sumbang mengambang.
Aku yang slalu disebut Anomali, tiada pernah menggunakan kiri.
Dalam bersosialisasi, dalam menjelaskan sebuah arti, dalam mencipta sebuah karya seni.

Memang terlihat asing.
Tapi keasingan lebih bebas melengking.
Tiada pernah mengalami kering.
Siapapun berhak bertahan.
Siapapun berhak melawan.
Siapapun berhak berpendidikan.
Siapapun berhak berekspresi dalam pilihan.

Apapun, Bagaimanapun, Dimanapun, Hingga Kapanpun.



JALANAN TEMPATKU BELAJAR

Di jalanan aku tidur.
Di jalanan aku tergusur.
Di jalanan aku berkarya.
Di jalanan aku bekerja.
Di jalanan aku belajar membaca.
Belajar arti hidup dalam dunia, karna semua jadwal sengaja kucipta
Untuk manusia yang disebut masyarakat dan keluarga.
Sang Surya menjadi saksi.
Cahaya Rembulan menjadi resolusi.
Menciptakan kontras warna seni.
Aktifitas manusia sehari-hari.
Ada yang simpati, Ada yang dengki mencaci, Ada yang tinggi hati, Ada pula yang setiap hari.
Memakai topeng penutup jati diri.
Banggakah diri kalian saat punya kemenangan atas siapapun?
Tapi nyatanya kalian kalah dan tunduk pada kebusukan yang amat sangat beracun.

Sang Surya menjadi saksi.
Tiga mata sebuah tiang persimpangan menjadi ambisi.
Para penumpang hingga pengemudi, para pengemis hingga musisi.
Mereka beradu mengadu nasib diri.
Ada yang simpati, Ada yang dengki mencaci, Ada yang tinggi hati, Ada pula yang setiap hari.
Memakai topeng penutup jati diri.
Banggakah diri kalian saat punya kemenangan atas siapapun?
Tapi nyatanya kalian kalah dan tunduk pada kebusukan yang amat sangat beracun.
Banggakah kalian yang berpendidikan?
Banggakah kalian atas kepuasan?
Banggakah kalian?
Di jalanan aku tidur.
Di jalanan aku tergusur.
Di jalanan aku berkarya.
Di jalanan aku bekerja.
Di jalanan aku belajar membaca.
Belajar arti hidup dalam dunia, karna semua jadwal sengaja kucipta.
Untuk manusia yang disebut masyarakat dan keluarga.


KATALOG HIDUP

Hidup adalah warna seni.
Hidup adalah cahaya mentari.
Hidup adalah sebuah dialog.
Hidup adalah sebuah katalog.
Halaman awal slalu tersaji dengan cover menarik.
Disajikan dengan rangkaian kata berbisik.
Jati diri yang bersisik.
Membuat pencinta terlihat asyik.
Terkadang hidup bersayat luka.
Membuat hidup membentuk citra.
Tujuan hidup yang berujung bahagia, kadang pula sebaliknya.
Disambut dengan keramahan burung penyanyi.
Disambut dengan lambaian pohon yang peduli.
Adapun jam dinding yang tertawa mencaci.
Seakan membangkitkan manusia dengan motivasi.
Semua tersusun rapi, menciptakan katalog hidup bernilai seni.

Hidup adalah warna seni.
Hidup adalah cahaya mentari.
Hidup adalah sebuah dialog,
Hidup adalah sebuah katalog.
Halaman isi slalu tersaji dengan berbagai garis berunsur seni.
Disajikan dengan rangkaian vektor yang jelas berarti.
Seperti mudah dimengerti, Seperti mudah dipahami.
Rangkaian titik vektor yang rumit berhimpit.
Rangkaian warna yang pahit terakit.
Rangkaian detail garis yang paling amat sakit.
Mampukah logika manusia mengerti?
Mampukah hati manusia menyadari?
Membangun pendidikan adalah sikap sadar diri.
Bahwa manusia ingin mengerti.
Bahwa manusia ingin memahami.
Meski tiada dapat menjelaskan secara rinci.
Hidup adalah warna seni.
Hidup adalah cahaya mentari.
Hidup adalah sebuah dialog.
Hidup adalah sebuah katalog.
Yang pada akhirnya hanya sekedar sebuah monolog.


MAWAR BAJA

Panorama taman bunga di desa dan kota.
Selalu membuat gila para pemangsa.
Binar mata mereka yang slalu berambisi dalam nyata.
Berimajinasi memiliki kelopak mawar yang berharga.
Hanya sekedar  memiliki.
Hanya sekedar untuk pendamping diri.
Bunga mawar berserakan di jalan.
 Bunga mawar terbengkalai tanpa kenangan.
Bunga mawar tersiksa, bunga mawar terkurung dalam penjara.
Selalu diinjak, selalu jadi budak.
Salahkah jika ada yang jadi pemberontak?
Salahkah jika ada tangis yang menyentak?
Sosok Kartini bereksperimen menciptakan mawar baja.
Dengan segala unsur seni yang membentuk citra.
Dengan segala ilmu pendidikan yang tercipta.
Dengan segala mental, ia dobrak pintu pancasila.
Bagi mawar baja.
Bagi kaum hawa.

Tapi apakah seorang Kartini tahu?
Di tahun serba modern yang baru.
Bunga mawar masih berserakan di jalan.
Bunga mawar masih terbengkalai tanpa kenangan.
Bunga mawar masih tersiksa, bunga mawar masih terkurung dalam penjara.
Andai beliau tahu.
Pasti air mata jatuh satu-satu.
Menciptakan aliran sungai kecil di sekitar wajahnya yang syahdu.
Sungguh dia pasti amat sangat terharu.
Wahai kaum hawa…
Dimanapun kalian berada.
Tentukan segera pilihan seni.
Tentukan segera pilihan jati diri.
Menjadi sekedar mawar biasa.
Atau jadi mawar baja, yang memiliki ribuan rumus logika, yang memiliki unsur seni tercipta, yang memiliki klaim atas dirinya.
Mawar biasa..
Mawar baja…
Silahkan berkarya !!!!!


DARAH INDONESIA

1945, adalah tahun kebebasan.
Sosok Garuda yang sekian lama tertekan.
Akibat ulah sihir setan.
Namun, tlah jadi berbeda.
17 bulu Garuda.
Siap terbang mencengkram bendera.
Merah darah Indonesia.
Putih tulang Indonesia.
Diikuti semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Diikuti lima lambang Pancasila.
Membentuk perisai, membentuk damai.
Budaya seni yang sengaja dicipta.
Sebagai karakter budaya bangsa.
Sebagai ciri masyarakat berjaya.
Sebagai tujuan yang membentuk citra.
Hingga sebagai ilmu dunia pendidikan yang amat tidak biasa.
Pernakah anda tahu, peristiwa bumi pertiwi yang pilu?
Pernakah anda tahu, bumi pertiwi terbuai dalam haru biru?

Banjir darah menenggelamkan pulau.
Banyak timbunan air mata yang melebihi galau.
Aliran darah yang tak terobati.
Garuda yang menjerit dalam peti mati.
Garuda yang dicambuk layaknya seekor binatang sirkus yang hendak mampus.
Garuda yang dihinakan di dalam lorong kakus layaknya tikus.
Siapa yang mengerti?
Siapa yang peduli?
Tiada sanggup lagi, aku bersaksi kini.
Hanya merah darahku ini yang slalu jadi bukti.
Aku, Kalian, Mereka.
Slalu merah darah Indonesia.
Slalu putih tulang Indonesia.
Diikuti semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Diikuti lima lambang Pancasila.
Membentuk perisai, membentuk damai.
Membentuk keelokan rangkaian warna seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar