Selasa, 04 Juni 2013

Puisi-Puisi Hanna Zakiyya

Hanna Zakiyya, mahasiswi strata 2 departemen metalurgi dan material universitas Indonesia. Hanna yang lahir di Bukittinggi, September 1989 ini adalah anak pertama dari 3 bersaudara.  Saat ini tinggal di Depok, Jawa Barat. Beberapa pengalaman menulis yang pernah diikutinya adalah penulis salah satu cerpen dalam antologi cerita pendek “Potongan Tangan di Kursi Tuhan”, menjadi salah satu cerpen terpilih dalam antologi cerpen pada media “Aesculapius” yang diterbitkan oleh media Fakultas kedokteran Universitas Indonesia serta puisi terpilih dalam lomba cipta puisi IADB yang telah dibukukan dalam “Epitaf Arau”. Tertarik pada puisi dan prosa serta mendeklamasikannya. Pernah menulis di beberapa blog, namun beberapa diantaranya pasif. Laman maya yang dapat dikunjungi untuk membaca beberapa karangan Hanna adalah zakiyyahanna.tumblr.com. Dapat dihubungi via facebook Zakiyya Hanna, twitter @zakiyyahanna. Alamat surat elektronik hannazakiyya@ymail.com / Hp.085669105257  
Alamat Domisili: Jl. Kedondong 1 No.32 Pondok Cina, Beji, 16424 Depok. Jawa Barat 


KRONOS ANOMALI

Kutitipkan lagi resah dipunggung-punggung hari, 
Membiarkan mega menjilati sisa-sisa siang yang segera pergi. 
Ia, resah itu, tak lagi terikat dalam benak,
Hanya menari dalam decak-decak tak berasa. 
Meninggalkan kagum dalam secangkir opini kaku. 
Tak lagi makna, ia telah terpasung. 
Bukan sedang merangkum kata ia teriak, tapi berdansa dalam alibi. 
Meluapkan setiap inti-inti stagnan melodi dalam garis kasar tak bertangga. 
Mungkin sedang membiarkan nada menguap dengan bebasnya. 
Mungkin pula sedang menggubah lagu hingga tak menggetarkan timpani. 
Adakah asa masih dalam frekuensi yang sama? 

Dan ketika malam merambat menghantar nokturnal pada bingar pestanya. 
Ia meninggalkan kelam membisu dalam ketidakpahamannya. 
Menghianati takdir hening dalam sejuta tangga nada. 
Lalu bukan lagi tawa yang difonis berderai 
tapi dengkuran yang mempermainkan koklea. 
Duniapun ia biarkan terlelap dalam ketidakpulasan.  
Tertatap sayu matanya 
Tapi, berapi binar surya, sejuta aksara.
Adakah kau masih dalam kotak foton yang sama?
Hingga retina mampu mengikatnya?

Ataukah harus kubiarkan kokok pejantan mengalahkan fajar kita?
Meniupkan kembali mimpi-mimpi yang memperpanjang lelapmu
Memasung jiwa dalam kefanaan raga
Dan ketika timur mulai menapak megahnya
Kau masih terpejam dalam lingkar nokturnalmu 
Lalu melupakan hangat pelukan embun
Namun menikmati dinginnya mentari
Adakah kita masih dalam lingkar kekal energi?
Ataukah hanya anomali?!

Semoga setiap tawaf eritrosit, menyadarkan kita
Hingga bongkah navigatormu, tak salah mengarah
Hingga Aorta tak percuma memompa
Dan akal tak lelah melukis fikirnya.
Adakah sisa kairos untuk kita?
Ataukah hanya kronos?!


KAMU DAN SEDERET LUPA

Suratmu, tak akan pernahku baca. 
Walau sampulnya telah merogoh sukma, hingga tergetar sudah rasa. 
Tapi lewat kaca matanya,
Tak lagi kubutuh sketsa dalam retina. 
Cukup cermin tasrah yang bertitah. 
Bahwa negeri ini negeriku juga. 
Tak kau undang memang. 
Tapi kami sudah sampai pada titik balik renaisans. 
Dan kembali dalam bias yang tertata dalam retorika. 
Kau mengumpan daya demi kantong-kantong tebal si tikus berdasi. 
Menelusupkan karung demi karung bulu domba dalam got-got tirani. 
Sampai pula kami pada delta sampah di muaramu. 
Dan kau masih bermain dengan lupamu 

Kali ini, tak lagi tentang suratmu. 
Tapi tentang anak-anak kita, yang tidak lagi mengenyam angka dan aksara. 
Entah sejauh apa monster-monster masa mimisahkan aku dan mereka. 
Hingga anak kita, ber-ibu globalisasi dan berguru teknologi. 
Apa yang mereka idap lebih dari sekedar Eudaimonia klasik yang dulu kau ceritakan.
Tak lagi kosmos, bahkan cerita tentang tuhan mati. 
Meraka bukan lagi Odisei, tapi pemuja kecerdasan semata. 
Sadarkah kau dosis renaisansmu terlalu belebih untuk mereka. 
Dan kau pergi membiarkan mereka mati dengan mulut berbusa. 
Masihkah lupa menjadi lumrah?
Aku masih berharap, kau tau tentang galur generasi yang kau buat pasi.

Kau harus tau,
Aku tidak sedang mengeluh tentang dirimu. 
Tapi mengamati gerilyamu membuatku semakin muak atas keberadaanmu. 
Terkadang fikirku mengapung, bahwa aku tak pernah membutuhkanmu. 
Lalu berkali-kali berharap lupa memihak memoriku
Tapi negeri ini seolah milikmu 
Sedang, aku serta anak-anakku 
Hanya kelereng-kelereng bocet yang bebas kau permainkan.
Kami hanya mampu berlari tak tentu arah
Demi chaos yang kau ciptakan untukku dan anak-anakku 
Hah, Entahlah 
Mereka bilang kami yang meimilihmu. 



TITIPAN MASA: KANAK

Senandung kutilang belum lagi reda 
Kala tapak-tapak kecil mulai mengayuh masa 
Seperti hari yang diam mengamati tawaf kecilmu
Begitu pula mentari tak lelah kobarkan semangatmu
Rasakan saja bulir-bulir embun mengecup mesra jengkal epidermismu
Dan hangat akan menggiring suka cita jiwa dalam aksaranya.

Tak lagi kantuk, hanya ruah asa menggebu
Bersaksi atas ratusan tapak yang harus dijelujur waktu
Kayuhlah semakin kencang, kanak…..
Lupakan saja deru angin yang memaksamu kembali
Sampirkan kembali angka-angka yang hampir menguap lewat pori-porimu
Dan kau akan rasakan buncah pengetahuan mengetuk serebelum mudamu

Saksikanlah bulir pepasir menggerutu minirukan semangat akar generasi
Lupakan saja jengkal tanah yang tertinggal di jejak sepatumu, kanak
Teruslah bergerak, usah risaukan masa
Tali-temali masa telah tanpa sadar mengikatkan diri di pergelanganmu
Dan inti-inti detik telah rela bersenyawa dengan fikirmu
Maka bergeraklah dalam warna-warni duniamu

Duhai kanak, pagar jelujur masa
Padamu generasi ini mengadu, menitipkan masa untuk sejarah baru


AKAR DALAM BELUKAR

Dua bola berbinar itu mengerling lemah
Tak ada pasangan bola lainnya yang membalas 
Tak lagi kata bahkan tawa meniadakan keberadaannya
Terlupa sudah sesosok nyawa kerdil dan lainnya acuh
Mungkin bukan sesiapa, tapi akar masa
Adakah rembes rasa yang melupakan ia siapa?
Adakah akan terpaham bahwa matanya adalah matamu kelak?
Pedulikah kita?

Bukankah susunan bata telah menepikan biduk kardus mereka
Tak samakah kita?

Aksara tak lagi buta, lagu tak lagi tuli,  kita merdeka
Tapi kedua bola berbinarnya terjajah serakah saudara
Jangan salahkan, bila…..
Polemik krisis pribadi memusuh raksasa angkuh kelak
Tak ayal, kanaknya tersia tanpa tatap edukasi, tanpa seni
Jangan salahkan…. Tika hatinya membatu 
Adakah semua tersalah pada mereka?
Atau rotasi kita yang berbeda.

Bukan masalah tertanggung atau tidak
Tapi siapkan jawaban untuk tiran yang kita tanam

Mereka juga akar yang tumbuh dalam rangka belukar
Dan kita mungkin pupuk 
Tak mesti, tapi pasti menyuburkan
Tapi adakah tumpahan pupuk itu rela terserak dalam liar rerumputan
Pilihan!
Maka tentukan!


IMPERIUM TERSUNDAL(KAN)

Bukan sisa peperangan
Bukan salah ia terlahir kini
Dan pasti….
Derap-derap eritrosit sama memburu dalam nadinya
Begitupun dendritnya mengantar sensor-sensor fikir 
Milyaran atom gerak bertawaf rapi dalam raksasa tubuhnya
Loncatan-loncatan elektron sarat energi, harusnya, ia juga miliki
Tapi entah vacan karya, entah inklusi globalisasi yang menyiksa
Tak bisa sama
Jejak ketidaksempurnaan semu menghukum mereka dalam pandangmu 

Mungkin dislokasi-dislokasi kiri telah berdispersi
Menumbuhkan mereka dalam kolom yang berbeda
Tak adakah subtituen kanan yang rela meluruskannya?
Pewaris generasi, ia adalah separuh imperium masa depan
Bukan takdir yang mereka enyam, tapi ketakpedulian
Timpang!

Eutopia telah berubah makna bagi mereka
Pada mimpi surgawi yang tak pernah fana
Imperium itu telah beredar pada garis yang menjauhinya
Meninggalkan makna hingga meniada
Dan mata-mata kanan tak mau lagi mengerling padanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar