Kiki Mardianti, lahir di Dumai, 29 Maret 1997. Berdomisili di daerah asalnya Dumai, Pekan Baru. Sekarang Kiki baru duduk di kelas X jurusan Keagamaan di MAN/MAPK Koto Baru padang Panjang. Kiki aktif mengikuti kegiatan kesustraan di Rumah Puisi Taufiq Ismail sejak 2012 lalu. Di samping itu, juga aktif sebagai anggota Sanggar Sastra Siswa Indonesia-Cakrawala di madrasahnya.
Sebagai anggota baru, Kiki terus mencoba mengasah kemampuannya dalam bidang kesusastraan. Alhasil, belum genap satu tahun Kiki aktif sebagai anggota di forum sastra, sudah ada beberapa karya tulisnya dalam bidang sastra muncul di koran lokal Sumatera Barat. Juga pernah memenangkan beberapa kali sayembara kepenulisan. Kiki dapat dihubungi via email kikimardianti29@yahoo.co.id atau langsung via nomor handphone 08972122970 atau 085355766010.
MENEMBUS KABUT KEILMUAN
Hembusan angin menyapa dedaunan
setiap hembusannya tersimpan azimah suci
tetesan air hujan menitiskan do’a-do’a agung,
mengukir cinta di sela cercahan harapan.
Hawa dingin menyusup di tulangku
menggigil aku di sajadah tahajjud
aku tenggelam di lautan munajat
Ya Allah,
aku tinggalkan tidur nyenyakku
aku tahan rasa dinginku
demi mengharap ridho-Mu ya Ilahi
setapak demi setapak,
selangkah demi selangkah
kuayunkan kaki menuju samudera keilmuan
Tebalnya kabut keilmuan tak membuatku rentan akan
keputus-asaan yang selalu menghinggapi
dan terbang bersama angan-angan indahku.
Deraian air mata senantiasa membasahi pipi
ribuan cobaan silih berganti tiada henti
mengangkat mimpi menuju layar kehidupan yang nyata
menggapai bintang yang jauh di sana
bersama para mujahid mujahidah
Indahnya sahabat seindah pelangi
Juga menjalin cinta kasih yang indah di perjalalan hidup
membekas di hati,menyentuh di kalbu
jalinan cinta kasih itu ku rangkai dan kutata rapi di relung hati
dan kujadikan satu album perjalanan hidup
yang berbingkaikan senyum juang seorang mujahidah
bila bintang itu telah di tanganku
Aku siap mengubah negeriku.
Kotobaru, Oktober 2012
SANDIWARA ZAMAN
Sebuah narasi dari negeri ini telah tercipta.
Terdapat antagonis di dalamnya
Panggung sandiwara pun dimulai
Dengan beberapa episode yang menusuk jiwa.
Terciptanya kenistaan, lahirlah kehancuran
kejamnya maling berdasi membuat dadaku sesak
Cukup! Aku muak dengan semua ini
Akhiri saja episode itu, sandiwara yang kau buat tak berarti bagiku.
Kini zaman pun kelam
Hilang sudah cahaya kedamaian
Hancur juga persatuan
Narasi tak beralur pun membutakan mimpi.
Wahai saudaraku, jangan hanya kau saksikan
Zaman yang bersandiwara di panggung kita
Telah menarik korban dari sandiwara itu
Tidak kah kau tahu ?
Mari genggam tangan ku
Dengan bermodal azimah
Kita bisa mengubah sandiwara itu
Menjadi narasi beralur
Tiada lagi kenistaan, tiada lagi kehancuran.
Kotobaru, Juni 2013
DENGAN SASTRA, AKU
Dengan sastra aku bersyair,
merangkai sebuah kisah dari negeriku
Dengan sastra aku bercengkrama,
dari hiruk piruk desahan nafaz zaman
Dengan sastra aku berkhayal,
kedamaian abadi menyapa dinamika kehidupan
Dengan sastra aku wujudkan,
mimpi lama yang terpendam
Dengan sastra aku bangkitkan,
kobaran semangat yang telah tidur
Dengan sastra aku persembahkan,
Kipas kejayaan untuk menyejukkan dunia.
Kotobaru, 2013
16 TAHUN SUDAH
16 tahun sudah mata ini mengamati dunia
Dunia yang penuh tanda tanya.
16 tahun sudah hidung ini mencium
Aroma pancaroba nan busuk.
16 tahun sudah telinga ini mendengar
Kabar asing tak sedap.
16 tahun sudah kulit ini meraba
Sengatan problematika hidup.
16 tahun sudah lidah ini mengecap
Pahit manisnya ilmu.
16 tahun sudah otak ini berfikir
Mempersiapkan tuah untuk negeri.
Koto Baru, Juni 2013
SAJAK KAKU KU BERMULA
Saat ku goreskan tinta ilmu di album kecilku,
saat itulah sajak kaku ku bermula.
Kuawali dengan basmalah
Yang meniti di bibir ini.
Dengan kekosongan hati
namun dibakar semangat diri
Akhirnya sajak kaku itu
Bisa kuciptakan.
Walaupun tak seindah sastrawan
Walaupun tak sepintar penyair
Tapi, aku bangga sajak ku tercipta
Karena sastra telah tumbuh di hati ini.
Koto baru, Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar