Kamis, 31 Oktober 2013

Puisi-Puisi Delvina Fitriani

Delvina Fitriani. Dilahirkan pada sebuah desa di Kab. Solok pada 3 April 1992. Dibesarkan dalam sebuah kelarga sederhana yang tidak memiliki pengetahuan tentang sastra.
Saat ini sedang berjuang menempuh pendidikan di sebuah sekolah tinggi kota padang. Tepatnya semester ke tujuh di STKIP PGRI Sumatera Barat. Semakin mencintai sastra setelah hampir setiap hari mencium bau dari karya sastra itu sendiri. Ya saya adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. No. Hp : 087792674948/085266106640 Email: vhi.avhivha@gmail.com


LELUCON NEGERI KAYA

hujan perlahan menelusup dalam rangka tubuh
Menusuk mengirimkan rasa sakit tanpa ampun
Deru angin ikut menyerang
Membagi kuasa dengan deras hujan
Di ruang pengap tanpa udara
Mengambang dengan hitam legam
Kulit keriput
Tetesan hujan bersanding dengan dinginnya
Dunia
Merajam tanpa henti
Membasuh luka-luka dengan debu
Membawa darah berteguhkan nanah
Berbau tajam
Sisa-sisa pekat jalanan

Tubuh ringkih
Hanya kulit membalut tulang
Melucuti satu demi satu bingkai malu
Mambungkuk-bungkuk memunguti
Remah sisa manusia

Sungguh
Lelucon untuk negeri kaya
Yang nyata ia ada

(Padang, Juni 2013)



SAJAK KEGAGALAN

Di sudut liar matanya
Ku melihat betapa ia ingin tertawa
Meski berkali keriput hatinya menghadang
Ia belumlah tua

Melalui sajak ia telah sampaikan
Berita duka tentang cita-cita
Betapa putranya yang hanya satu
Mesti menutup muka menguliti malu

Berkali janji datang menggoda
Coba antarkan ia pada singgasana luka
Renyah hatinya kini dimakan usia
Tapi kini wanita itu tak lagi percaya
Lelak kecilnya tetap
Merajut diri dengan gumpalan benang kusut

Hingga ujung di ujung waktu ia berbisik pelan
Yang entah
Untuk siapa
“Datanglah lagi pada sebuah malam di sebuah makam!”

(Padang, Oktober 2013)


PERTEMPURAN SEBELUM WISUDA

setelah kejutan yang luar biasa
sore ini kembali langit ku di usik duka
rentang kekecewaan datang nyaris pada waktu yang sama
Rabb
aku sadari kekurangan ini
dan aku masih akan berusaha lagi, mengulang
berulang-ulang
tetapi mengapa luka ini masih terkuak menyisakan sakit ??
Rabb, tanamkanlah dalam benakku bahwa itu belum menjadi jodohku

datangkanlah bala bantuan dengan tangan-tanganMu.
aku pasrahkan sakit ini kau bawa hingga terbenam dimakan masa.

biarkan.
aku akan buang sakit saat ini, kecewa di kala ini, biar ada ruang untuk sakit yang akan berganti nanti

sekali waktu kudengar bisik naluriku sendiri
“tataplah lagi dengan mata jernih, pikiran bersih”
Tapi rasa itu masih membenam di dalam sini. menancap kuat yang entahhhhh

tentu. bahkan apakah esok aku masih akan merasakan sakit tidak ada yang tahu.
tentu. aku menikmatinya. hanya saja aku terlalu lelah untuk berpura suka akan sakit
 yang satu ini. aku merindukan sakit yang lain. sudah bosan dengan sakit ini.

ahh.... adakah angin yang akan membawanya ?
atau ombak yang akan datang menghempaskan.

(Padang, 26 Oktober 2013)


HARAPAN BUNDA

Untuk Anis, Ibuku.

Sebuah surat telah ia terima
Ketika jerit tangis seorang bayi perempuan memecah waktu
Derai itu sambut datan merah di ufuk timur
Hari itu Jumat yang indah

Bunda telah menerimanya
Den berkali memebacanya
Garis tangan akan hantarkan bayi mungilnya pada kedamaian
Hingga ia tak tahu kapan
Seluruh jiwa telah ia telanjangi
Dikirimkan khusus untuk cita anaknya

Berkali dalam prosa ia sampaikan
Bila ada sebuah hidung
Sebelah mata dan rambut itu
Maka akan lebih sempurna dengan apa yang ada padanya

(Padang, Oktober 2013)


GAMANG

Untuk adik-adikku yang tak mampu mengecap pendidikan

Gerimis menambah senja lekas gelap
Guntur menghempas di ujung langit
Kilat memancar
Hadirkan terang yanglekas pula
Diganti gelap yang makin pekat

Langkah kaki itu masih terseok
Berkejaran dengan debu jalanan
Merah hatinya selalu menolak mengaku kalah
Tapi lilitan di perut tak henti menahan langkah
Debu yang lamat-lamat tersapu riuh hujan

Hanya sesekali
Setiap tiba waktunya bersegera
Orang-orang berebut membuat boneka
Di sebuah ruang bernama pendidikan
Sesekali dipaksa patuh dengan aturan
Tak jarang ikut pula kunci jawaban

Betapa anehnya ruang bernama pendidikan itu
Sedang mereka tanpa takut telah berkejaran di jalanan
Kami berkejaran dengan kekuasaan yang takut dikalahkan.

(Padang, Oktober 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar