Selasa, 29 Oktober 2013

Puisi-Puisi Vironika Sri W

Lahir di Ngawi, 5 Oktober 1969. Saat ini mengajar di SMA Maria Mediatrix Tangerang. Hobi membaca, menulis, dan bertanam. Pemberi nama Majalah Lentera  Paroki Santa Maria Fatima Sragen. "Detak Jam Weker" karya puisi pertama tampil di mading SMA 1 Sragen tahun 1986. Cerpen Jalan Simpang meraih Juara I lomba menulis cerpen yang diselenggarakan tabloid SUKA di Surabaya tahun 1992. Cerpen berbahasa Jawa (Cerkak) Mapag Ampak-ampak masuk nominasi 6 besar lomba mangarang cerkak yang diselenggarakan majalah Praba Yogyakarta tahun 1993. Karya puisi Kanibal masuk nominasi 50 besar puisi terbaik nasional 2011 yang diselenggarakan Bentara Budaya Bali. Puisi Nostalgia Siti Nurbaya masuk 75 besar puisi pilihan terbaik nasional yang diselenggarakan    Ikatan Alumni Don Bosco  (IADB) Padang tahun 2011 dan dibukukan dalam Antologi Puisi bersama Epitaf Arau oleh Penerbit Senikata Padang 2012. 

Sampai sekarang masih aktif menulis cerpen dan puisi. Karya cerpen yang telah dimuat antara lain Saat Daun Berbisik (2010) dan Pesan Malaikat (2011) dimuat di Majalah Voluntas Gereja St. Gregorius Tangerang. Cerpen Binar Matahari baru saja selesai ditulis. Puisi: Dalang Desa, Bumi Retak, Catatan Harian Pemulung Cilik, Yang Terlupakan, Pohon Asam di Alun-alun Kota, Epitaf Kepik, Negeri Topeng, Obsesi Bocah Miskin di Kota Besar, Elegi Kunang-Kunang, dan Sang Penanda diikutkan dalam kompetisi yang diselenggarakan Komunitas Radja Ketjil. Cerpen Binar Matahari dimuat di Majalah Voluntas tahun 2012. 

Puisi Semarang dalam Jejak Meillie Ling Ling mendapat Juara II Lomba Cipta Puisi Bahasa Indonesia dan Jawa di Semarang. Puisi Bahasa Jawa yang sudah ditulis yaitu Kutha Sala Sawijining Dina. Puisi Tentang Bocah  yang Duduk Termangu dimuat di Majalah KISS MM Edisi Desember 2012. Puisi Jejak Kunang-Kunang di Simpang Pakisan mendapat pemenang harapan dalam lomba cipta puisi Rumah Kata Medan 2013. Hp: 085697823098, e-mail: veronika_eswhe@yahoo.com atau veronikaeswhe@gmail.com.

PESAN HAYUNINGRAT

Seni adalah sosok adaptif
Lembut, hangat, menyejukkan
Seperti oksigen  mendekap jiwa tanpa dipinta
Tak pernah lekang meski engkau berteriak sejuta ingkar
Biasnya terbidik, manakala kita nikmati lentik jemari gadis desa
yang membuai malam panas berbalut canting di hamparan batik sutera
Pernahkah engkau nikmati mata gadis penari Bali yang bulat berbinar
berpadu gamelan?
Keindahan yang tak terkatakan
Karena ia tak pernah menuntut untuk didongengkan
Ia adalah pesan damai dari semesta
Kehalusannya sanggup meredam roh-roh egois keras kepala
Ia tak hanya sekadar titipan Batara Guru untuk Ganesa
Namun ia adalah pesan hayuningrat, pesan damai dari Sang Maha Bijak
untuk ciptaanNya
Hadirnya bak jembatan emas yang boleh dilewati siapa saja
Tempat segala jiwa bertegur sapa tanpa curiga
Tak ada kesedihan, meski  hanya sepenggal
Hati mereka berkilau toleransi
Tiada tempat keculasan bersarang dan beranak pinak
Tiada istilah yang kuat itulah yang berjaya
Karena ia memang lahir bagai bayi
atau  bocah dengan nurani putih salju
Seni adalah kehalusan budi yang tak terbelenggu provokasi
Ia selalu ada sebagai pembawa pesan hayuningrat…pesan damai dari semesta

Tangerang, 27 Juli 2013


JATHILAN

Sayup gamelan menyeruak sepi
Membangunkan desa asri usai panen padi
Penari jathilan bertopeng, menggamit kuda lumping
Bergerak selaras irama gamelan
Kolaborasi  gerak memikat di tengah atmosfer yang masih menyisakan wangi
Berlaksa pesan terpaut erat dalam tari jathilan
Kesederhanaan, ketulusan, toleransi teraduk lekat
Menjiwai raga penghuni dusun di kaki gunung
Jathilan menggenggam bertumpuk inspirasi
Bahwa hidup selayaknya ditempa
Hidup adalah lorong berkelok mirip labirin
yang selalu menyimpan tanya di mana bagian terang dan kelamnya
Hidup adalah serpihan luka menganga
yang semestinya dipoles dengan nilai- nilai kearifan
Jathilan bukanlah tari yang layak untuk dikucilkan
Sebab ia bak malaikat yang fasih mendidik dan mengajar
Karena didikan  membuat hidup lebih bermakna
Nurani semestinya menukik, merendah, menyapa
Menggapai siapa saja
Jathilan adalah selembar fragmen
bahwa hidup ada yang memiliki
Tiada satupun makhluk kekal abadi

Tangerang, Juli 2013 


SEPENGGAL LAKON 

Dusun sunyi bermandi kilau candra
Tikar mendong menjuntai ramah
Panggung kethoprak berselimut tirai bagai magnet
Antusias penghuni dusun menjulang
Melampaui pucuk- pucuk nyiur yang berjajar di pematang ladang
Malam redup berpayung awan
Seolah tanpa surut melahap lakon Petruk jadi Ratu
Tak satupun episode beringsut
Petruk sang lakon tampil jujur, sederhana
Mengoyak tahta raja lalim, bengis, dan angkara
Petruk sang lakon sanggup menembus batas kasta
Yang mungkin hanya berjarak  sebatas bumi dan nirwana
Petruk jadi Ratu adalah sepenggal kisah
Bahwa hidup adalah tungku didikan, kolam pembelajaran
Segala ciptaan adalah titah tertulis
Siapa selayaknya menjadi siapa, bukan siapa ingin menjadi siapa
Guru selayaknya mengajar dan mendidik dengan jiwa
Pelayan selayaknya mengabdi pada tuannya dengan setia
Seniman selayaknya berkreasi tanpa henti
Pemerintah  mengayomi rakyat dengan tulus
Apa gerangan yang terjadi?
Andai merpati ingkar janji
Apakah ia masih layak sebagai merpati?
Anomali menyelinap bagai pencuri tanpa kompromi
Tungku didikan harus tetap dinyalakan
Kolam pembelajaran harus tetap disegarkan
Bara dan  riaknya harus membiaskan kebijakan
Sampai  penanda waktu kehidupan tak sanggup lagi merayap.

Tangerang,  Agustus 2013 


TENTANG PADANG PANJANG

Gemuruh riuh roda kereta menggilas rel-rel sepanjang arah Bukit Barisan
Pagi menghunjam jendela kereta, saat kubuka kedua mata
Tebing hijau berselimut pepohonan kopi sanggup mengantar sejuta nostalgia
ke masa silam
Masa saat aku  berkelana di Padang Panjang
Tak bosan kulihat gadis- gadis ayu menari Piriang Itiak Patah
Kendang dan jimbe bersautan saling menyaut
Sementara jejaka-jejaka desa memainkan rebab pesisir , memesona
Manusia menyemut menambah situasi makin terimajinasi
Penjual kalio daging, gulai itiak, dan teh telua menebar senyum
menjajakan dagangannya
Mereka selalu tersenyum meski hanya bocah- bocah yang datang
dengan uang recehan, sekadar  membeli karapuak sanjai atau karak kaliang
Bagi mereka menikmati alunan rebab pesisir lebih bermakna
daripada sekadar mengeja tumpukan laba dagangan
Geliat musik rebab pesisir mampu membilas nurani yang berabad tak tercuci
Rebab pesisir sanggup bercerita bahwa manusia di dunia
menggendong setiap takdir perannya
Apakah ia sebagai manusia digdaya ?
Atau ia tercipta sebagai makhluk berilmu ?
Mungkinkah ia sebagai manusia pengayom ?
Ataukah seorang yang bergelimang harta dan kuasa ?
Atau cukup sebagai rakyat jelata?
Semuanya tak mungkin dapat dipilah satu sama lain
Layaknya  kolaborasi  aneka warna bianglala
Irama rebab pesisir memberi alarm bahwa setiap manusia dengan kodratnya
harus sejalan seiring
Agar bumi tak kehilangan kilau biru, putih, dan hijaunya
Agar celoteh bocah sekolah tak kehilangan maknanya
Karena mereka adalah masa depan kita.

Tangerang,  Agustus 2013


PESAN DARI DINDING KOTA

Berjuta pesan  tertoreh  di wajah dinding kota
Kadang berupa titik, koma, hingga tanda baca tak bermakna
Atau bahkan kata, kalimat, alinea yang tak jelas maksudnya
Pesan kadang berevolusi sebagai gambar atau sketsa
Yang bermakna lebih tajam daripada sekadar kata
Berjuta pesan terpahat setiap petang
Dan akan terbaca saat bias matahari mengguyur wajah dinding kota
Pernah pesan berupa resep kue tradisional masyarakat desa
yang semestinya diwariskan orangtua pada anaknya
karena sampai detik ini tak terhitung berapa banyak manusia kota
kehilangan identitas lokal yang seharusnya dijaga sebagai warga dunia
Pesan itu datang dari dinding kota
yang bereinkarnasi sebagai mural atau grafiti
Keduanya bersaudara, yang selama ini dicari penguasa- penguasa kota
Keduanya beraroma seni tinggi namun sosoknya begitu dihindari
Ditakuti penjahat- penjahat berdasi yang lapar korupsi
Ditakuti para pengaku pemerhati martabat bangsa ini
namun sesungguhnya mereka adalah pemungut upeti ulung
Pesan dari dinding kota seperti auman harimau
Gaungnya memerahkan daun telinga pengelola- pengelola gedung sekolah
yang karyanya begitu mudah roboh saat angin bertiup semilir
Karena mereka telah bermutasi
Makanan mereka tidak lagi nasi atau roti
Namun mulutnya sanggup mengunyah kawat-kawat besi
Populasinya seperti virus yang mengancam  keceriaan  bocah sekolah di negeri ini
Pesan dari dinding kota seperti pesan malaikat
Walau mereka dimusnahkan setiap saat
Mereka tak pernah lelah menyiratkan berjuta nasihat
Seperti Tuhan yang memoles luka ciptaanNya
Untuk keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan makhluk bumi

Agustus,   2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar